Hidup Tenang dengan Slow Living

Kamu merasa nggak sih, perputaran dunia rasanya cepat sekali? Semua orang semacam berlomba untuk jadi yang ‘paling’. Paling kaya, paling hits, paling nggak ketinggalan zaman. Pokoknya paling deh.

Adanya media sosial semakin membuat perlombaan ini terasa dekat. Melihat orang sukses karena ngonten, semua berbondong-bondong jadi konten kreator. 

Lihat orang viral di media sosial, buru-buru menirunya. Nanti ganti trending, ikutan lagi. Apa sih yang sebenarnya dicari?

Lebih-lebih soal lomba jadi paling kaya nih, sampai dibela-belain kerja mati-matian siang dan malam. Mereka yang konten kreator, setiap hari bikin video sampai nggak tidur. 

Mereka yang merintis bisnis berusaha mati-matian mengejar target sampai tipes. Seolah, selama masih muda, gass pol aja segala halang rintang.  Padahal tubuh sudah memberikan alarm.

Tahun 2016, WHO merilis data, kurang lebih sebanyak 745.000 orang meninggal dunia setiap tahunnya karena stroke dan sakit jantung akibat kerja berlebihan. Kondisi ini menjadi semakin parah ketika tahun 2020 dunia dilanda pandemi. 

Apa ini hidup yang manusia cari? Jadi kaya belum tentu, dikejar penyakit jantung sudah pasti. 

Apa iya hidup harus begini? Kalau manusia hidup dengan cara yang lebih santai dan sehat, boleh nggak sih? Hidup di desa, jadi petani dan beternak. Hidup yang pelan-pelan. Slow Living

Buat kamu yang mungkin belum pernah mendengar istilah ini, slow living bisa diartikan gaya hidup yang hanya berfokus dengan apa yang kamu sukai. Memperhatikan kualitas, bukan kuantitas. 

Kalau kamu pernah mendengar hustle culture dan fast living. Nah, konsep hidup slow living adalah kebalikannya. 

Sudah banyak yang menerapkan gaya hidup slow living di Jepang. Generasi muda di sana mulai kembali ke desa. Mencari ketenangan dengan bertani dan bersosialisasi dengan sesama. 

Sedang yang di kota juga mulai mengurangi pace hidupnya. Biar hidup nggak selalu ngos-ngosan

Yakin nggak mau nyoba?