Pada bab sebelumnya membahas tentang alasan perlunya digital detoks, sekarang waktunya mengulas manfaat dari digital detoks. Banyak yang bilang digital detoks bermanfaat bagi kesehatan khususnya kesehatan mental. Apa iya? Memang apa manfaatnya?
Pertama, Mengurangi Kecemasan
Kecemasan di sini bisa dari berbagai sumber. Cemas karena melihat pencapaian orang lain. Cemas ketinggalan info aliasa FOMO (Fear of Missing Out). Cemas saat membaca berita. Cemas karena khawatir unggahannya di media sosial dikomentari yang tidak-tidak, dan lain-lain.
Menjauh sejenak dari dunia digital akan membuat manusia seperti restart. Nggak lagi melakukan hal yang selama ini rutin dilakukan. Jadi, pikiran lebih tenang.
Kalau nggak percaya, kamu cobain deh. Menjauh dari dunia digital selama satu minggu. Lalu kembali di minggu selanjutnya. Kira-kira ada nggak informasi yang membuat kamu rugi kalau kamu nggak mengikutinya?
Kedua, Meningkatkan Rasa Percaya Diri
Masih ada hubungannya dengan kecemasan, salah satu efek dari terlalu lama akses dunia digital khususnya media sosial adalah merasa insecure. Merasa nggak ada apa-apanya dibandingkan orang di luar sana yang bahkan kamu nggak kenal.
Padahal kamu secara sadar tahu kalau orang yang membuat kamu insecure memulai dari start yang beda denganmu. Wajar saja kalau lebih dulu sukses.
Ini belum membahas cyberbullying ya. Di mana setiap orang merasa bebas mengomentari siapun di media sosial. Termasuk komentar jelek sekali pun. Kamu yang awalnya mau mencari hiburan, malah bisa jadi sasaran bully.
Nah, menghilang sejenak dari dunia digital akan membuatmu lupa dengan hal-hal seperti ini. Akhirnya jadi lebih peduli dengan pencapaian diri sendiri. Jauh juga dari para pembuli di sosial media. Manfaat baiknya, kamu jadi lebih percaya diri.
Ketiga, Membantu Mengurangi Depresi
Sudah banyak penelitian yang menjelaskan hubungan erat antara media sosial dan depresi. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Udayana Bali dengan subyek penelitian siswa SMP kelas 3 menunjukkan dari 180 siswa, sebanyak 50% diantaranya mengalami gejala depresi yang nggak disadari.
Hasil yang sama ditunjukkan dari penelitian yang dilakukan mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta, kali ini respondennya bukan remaja atau anak sekolah, tapi mahasiswa.
Hasilnya, para mahasiswa, pengguna aktif media sosial yang menjadi subyek penelitian menunjukkan gejala depresi yang nggak disadari. Bahkan sampai mahasiswa saja nggak sadar kalau mereka depresi.
Masih kurang? Salah satu guru besar Universitas Gadjah Mada, Prof. Siswanto Agus Wilopo menyampaikan bahwa pada remaja, penggunaan media sosial secara berlebihan akan membuat penggunanya depresi.
Depresi ini salah satunya diakibatkan, terlalu banyak informasi yang masuk tanpa adanya filter. Apakah itu informasi yang buruk atau yang baik, semuanya diserap. Hal ini memicu adanya depresi karena pola pikirnya belum bisa mengolah apa yang diserap.
Dari berbagai penelitian ini jelas ya bahwa interaksi secara digital, berpengaruh kepada tingkat depresi manusia.
Keempat, Membuat Tidur Lebih Pulas
Salah satu hal yang kerap dilakukan oleh pengguna aktif perangkat digital (misalnya smartphone) adalah meletakkan perangkat tersebut di dekat tempat untuk istirahat.
Akhirnya, niat awalnya mau tidur, malah jadi scrolling media sosial. Mata yang seharusnya sudah waktunya istirahat jadi tegang. Kantuk hilang. Siklus tidur menjadi terganggu.
Lebih dari itu, meletakkan smartphone di dekat kamu tidur juga mengakibatkan tubuh terpapar radiasi elektromagnetik. Belum lagi kalau diniatkannya untuk alarm.
Tubuh yang awalnya tidur pulas, lalu terbangun secara tiba-tiba karena bunyi alarm akan membuat saraf simpatiknya langsung on.
Aktifnya saraf simpatik akan membuat jantung berdetak lebih kencang dan mengencangkan otot untuk merespon bahaya secara cepat. Padahal kondisi tubuh belum siap untuk beraktifitas.