Meski namanya slow living, bukan lantas berarti malas-malasan ya. Slow, melambat, bukan berhenti.
Alih-alih bermalas-malasan, gaya hidup slow living justru mengajak kamu untuk mengalokasikan waktu secara efektif untuk hal-hal yang memang seharusnya dikerjakan.
Memang secara konsep, slow living menghindari tergesa-gesa. Namun, orang yang memilih gaya hidup slow living tetap punya target hidup dan pekerjaan yang harus diselesaikan.
Bedanya adalah, dari hidup yang awalnya kerja bagai kuda dan semua hal dikerjakan, orang yang hidup slow living mulai memilah mana saja yang bisa dikurangi dan mana yang tetap harus dikerjakan.
Kamu yang mungkin dulunya tipe multitasking, semua-semua dikerjakan, kalau mau belajr slow living coba deh mulai pilih satu dua hal yang memang benar-benar membuatmu tertarik dan bisa kamu kerjakan jangka panjang.
Say No for Hustle Culture
Buat kamu yang mungkin nggak familiar dengan hustle culture, istilah ini biasa juga disebut dengan workaholic atau gila kerja.
Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Wayne Oates melalui bukunya yang berjudul ‘Confessions of a Workaholic: the Facts About Work Addiction’ pada tahun 1971.
Kalau kamu mengamati, sekarang workaholic atau hustle culture menjadi candu di kota-kota besar. Produktivitas hidup dilihat dari seberapa sibuknya seseorang bekerja.
Terlebih sekarang media sosial bisa diakses siapa saja. Semua orang berlomba untuk menunjukkan betapa sibuk hidupnya. Kamu pasti sudah tahu kan konten-konten a day in my life.
Dampaknya, ini menjadi semacam efek bola salju. Semua orang berusaha untuk sibuk juga.
Sebenarnya, kalau hanya sekedar sibuk yang positif nggak masalah. Menjadi masalah kalau kemudian sibuk ini menjadi target. Harus sibuk, harus produktif, harus lebih baik dari semua orang.
Akhirnya banyak orang yang lupa akan kehidupan pribadi. Kesehatan jadi nomor sekian. Data dari WHO, pada tahun 2021, sebanyak 750.000 orang meninggal karena sakit jantung akibat kelelahan bekerja di setiap tahunnya.
Belum lagi beberapa negara seperti Jepang atau Korea yang terancam ‘punah’ karena generasi mudanya sibuk bekerja. Hustle culture memang bukan faktor utama, namun ini menjadi salah satu sebabnya.
Melambat Bisa Jadi Tepat
Mungkin manusia memang perlu menurunkan kecepatan. Agar dunia bisa sedikit melambat.
Dalam dunia yang super cepat dikenal istilah fast living. Gaya hidup dengan budaya yang serba cepat. Orang-orang yang menerapkan gaya hidup ini akan cenderung lebih stress. Efek lainnya, ini akan membuat orang lebih konsumtif terhadap hiburan.
Mereka yang hidup dengan gaya fast living selalu fokus dengan kerja, kerja, dan kerja. Target harus tercapai bahkan terlampaui. Semua serba buru-buru.
Bisa dipastikan mereka ini nggak bisa menikmati moment. Nggak bisa menikmati hidup. Nggak lagi hidup sebagai ‘manusia’, tapi sebagai robot.
Kalau sudah begini, hidup yang melambat atau slow living sepertinya bisa pilihan tepat.
Meski gaya hidup slow living banyak dikenal di pedesaan Jepang. Sebenarnya awal mula adanya gaya hidup ini justru dari negeri pizza, Italia.
Tahun 80-an, sebuah gerai fast food berdiri di jantung kota Roma. Seorang aktivis pro makanan lokal, Carlo Petrini kemudian membuat gerakan slow food movement. Sekarang gerakan ini didukung kurang lebih 150 negara.
Slow food movement kemudian jadi inspirasi munculnya gerakan slow living. Tahun 2004, seorang penulis Carl Honoré mengenalkan slow living ke dunia yang lebih luas melalui bukunya In Praise of Slowness.
Lalu, apa sih sebenarnya slow living itu? Secara pengertian slow living diartikan sebagai hidup yang fokus pada kualitas bukan kuantitas. Ada juga yang menyebutnya dengan hidup yang sederhana dan santai.
Sebagai contoh, banyak pemuda Jepang yang mulai kembali ke desa untuk menerapkan gaya hidup slow living. Mereka yang dulunya bekerja di kota besar, ‘mudik’ lalu mulai membuka usaha bidang pertanian.
Mereka mulai hidup baru di desa dengan lebih sederhana, lambat, dan santai.
Tapi, apa iya slow living hanya bisa dilakukan di desa? Nggak juga. Meski banyak yang mempraktikkan seperti ini, nyatanya kamu bisa slow living di mana saja. Kota besar sekali pun.
Tentu tantangannya berbeda. Hidup di kota akan sangat mudah terpengaruh arus kehidupan yang serba cepat. Kalau kamu benar-benar ingin slow living, mungkin kamu bisa mulai dengan evaluasi kegiatan harianmu.
Pilih ulang mana yang sekiranya bisa dihilangkan, ya hilangkan. Misalnya, biasanya kamu wajib scrolling media sosial, ini bisa di-skip, ganti olahraga saja.
Atau biasanya wajib menyapa tetangga berjam-jam, ganti dengan menyapa secukupnya saja. Ganti dengan journaling. Intinya fokus dengan hal-hal yang penting aja.
Nggak Semua Hal Harus Diperlambat
Slow Living memang memperlambat ritme hidup, pertanyaannya apakah semua hal wajib diperlambat?
Jawabannya adalah enggak. Nggak semua hal harus diperlambat. Justru beberapa hal bisa menjadi lebih optimal dan cepat. Karena hal-hal yang selama ini menghambat sudah dibabat.
Tahun 2020 ketika pandemi melanda dunia, manusia dipaksa untuk hidup melambat. Semua jadi slow living tanpa disengaja.
Ada yang jadi bisa berdiam diri di rumah. Ada yang tiba-tiba jadi hobi bersepeda dan menjelajah. Semua hal seolah jadi sempat dikerjakan.
Bahkan yang biasanya jarang saling berkirim pesan dan makanan, jadi ada waktu untuk bertukar sapa dan saling berkirim masakan. Benar-benar melambat.
Namun, lihat, sekian tahun setelah pandemi, semua orang kembali tergesa-gesa. Sibuk menjadi kebutuhan. Manusia kembali menjadi tertekan. Seolah manusia nggak boleh bosan.
Oke, sepertinya ini harus diurai satu persatu, ambil buku dan pulpenmu. Mari journaling.