Baru dapet uang agak banyak, merasa sebagai si paling hebat.
Salah satu gejala utama seseorang terkena penyakit kaya sesaat adalah punya uang sangat banyak tapi kurang dari satu tahun langsung menguap.
Kalau konteksnya adalah rich, maka keberhasilan seseorang bukan pada berapa banyak harta yang dia dapatkan, tapi bagaimana aset itu makin hari makin bertambah dan bertumbuh. Yang semacam ini, lebih pas disebut sebagai wealth.
Orang Kaya Baru
Menurut pengamatan saya pribadi, sejak tahun 2016 ada begitu banyak pelatihan bisnis. Mulai dari yang technical skill seperti cara membangun website, cara beriklan di Facebook dan Google, cara optimasi, cara ini itu, sampai pelatihan yang tujuannya untuk meningkatkan conceptual skill seperti membangun tim, membuat sistem, membuat perencanaan, dan lain-lain.
Di saat yang bersamaan juga muncul banyak platform yang memudahkan kita untuk menghasilkan uang.
Terutama Gen-Z (anak-anak 90an dan 2000an awal), banyak yang bisa hasilkan uang sendiri hanya bermodalkan jari.
Yak, mereka punya banyak pendapatan meski minim pengalaman.
Maka, kita mengenal istilah OKB alias Orang Kaya Baru.
Sebenernya fenomena OKB ini udah ada dari jaman dulu ya. Cuma bedanya, OKB jaman dulu ketika tiba-tiba seorang anak muda mendapat limpahan warisan dari orang tuanya yang meninggal dunia.
Endingnya ya mirip-mirip. Uang habis begitu saja tanpa bener-bener ngerti apa yang baru aja terjadi.
Merasa Bisa Bayar Hutang
Ketika usaha baru berkembang, ngga sedikit para pelaku usaha ini yang berpikir kalau punya tambahan modal maka usahanya bisa semakin membesar.
Usaha baru mulai, disebut starting. Saat berjalan, disebut running. Ketika mau dibesarkan lagi, disebut scaling.
Jadi, yang ada dalam pikirannya adalah harus punya tambahan modal. Tambahan modal paling mudah diakses adalah bank dan orang-orang terdekat.
Ada banyak variabel yang membuat proses scaling itu bisa berjalan mulus, bukan sekedar tambahan modal (dari hutang).
Banyak orang ngga tahu, sesungguhnya ada banyak hal yang tak nampak, ketika pertama kali melakukan hutang dalam jumlah besar. Karena yang ada dalam pikirannya adalah keberhasilan dari hal-hal yang sudah direncanakan.
Sehingga, muncul confidence itu; merasa bisa bayar hutang.
Ada pendapat mengatakan, “Kalau mau cepat, jalan sendiri. Kalau mau besar, jalan bersama.”
Ketika jalan sendiri, generate 100 sampai 200 juta, mungkin bisa dan ketemu polanya. Tapi untuk menambah lebih banyak dari itu, bukan sekedar butuh modal.
Merasa Modal adalah Segalanya
Uang atau modal hanyalah salah satu alat. Posisi uang akan sangat bermanfaat kalau alat-alat yang lainnya juga udah siap.
Beli alat baru atau rekrut orang baru, bukan jaminan omset bisa bertumbuh. Yang pasti, dengan ada alat baru dan orang baru, potensi masalah justru akan bertambah.
Saya beberapa kali menjumpai kasus orang-orang yang saya kenal terjebak di “modal adalah segalanya” ini.
Suatu ketika pernah ada salah seorang murid saya, dia bisa dapatkan omset yang cukup banyak dalam waktu kurang dari satu tahun.
Dia mendapatkan omset banyak itu karena menjualkan barang dan jasa milik orang lain. Dia merasa cukup percaya diri bisa membuat barang dan jasa yang serupa. Sehingga, harapannya bisa mendapatkan profit yang lebih besar karena barang milik sendiri.
Dengan cukup yakin, dia sampaikan pada saya untuk inves di bisnisnya. Modal yang dia butuhkan adalah 180 juta.
“Mas Vatih mau jadi investor?”, begitu tanyanya.
Setelah diskusi yang berkelanjutan, saya sampaikan poin pamungkas yang intinya, “Kalau model bisnis yang barusan tadi bisa kamu jalankan selama 1 tahun, dan kamu masih butuh tambahan modal, insya Allah saya akan ikut.”
Karena bagi saya, pada saat dia mau membuat barang sendiri, core bisnisnya udah berubah.
Sebelumnya adalah marketing dan distribusi, sekarang ketambahan produksi. Ada terlalu banyak hal tentang produksi yang mungkin dia belum tahu.
Beberapa waktu berjalan, dia kirim pesan WhatsApp ke saya kalau sudah dapat investor dan sudah belanja segala kebutuhan yang pernah disampaikan sebelumnya. Ternyata dia sangat semangat mencari modal.
Sayang beribu sayang, ngga sampai 1 tahun, usahanya harus tutup dan menyisakan masalah yang ngga bisa dibilang mudah.
Padahal, kalau dia mau sabar dan fokus pada cashflow dari sistem dan model bisnis yang udah stabil sebelumnya, dia bisa dapatkan kas usaha untuk dana pengembangan dan bertumbuh secara perlahan.
Gampang Traktir
Istilahnya nge-bos-i, dikit-dikit traktir dan bayarin orang. Kalau orang yang kita bayari itu mempunyai peran penting dalam roda bisnis kita (partner, karyawan kunci), ya boleh lah. Tapi kalau ngga punya peran apalagi kontribusi apapun, ya big no!
Mentraktir orang yang ngga punya pengaruh apa-apa, itu artinya Anda cuma ingin memuaskan ego, supaya terlihat baik dan keren, orang jawa bilang loman.
Ini ngga sehat secara mental. Untuk mental Anda, dan mental yang ditraktif.
Kalau niatnya sedekah, ya ke orang-orang tertentu yang prioritasnya udah dijelaskan dalam agama. Bukan ke sembarang orang.
Menjadi Pribadi yang Agresif
Merasa punya banyak dana, pikiran kritisnya jadi sedikit tumpul. Ada teman punya usaha, Anda invest. Ada info peluang kerjasama, Anda ikutan invest.
Atau, di dalam pikirannya ingin segera punya banyak sumber pemasukan. Akhirnya berusaha untuk bikin ini, bikin itu, pengen punya tim yang bisa begini dan begitu.
Uang yang ada, dihambur-hamburkan, dengan harapan bisa memberikan return yang maksimal dan melimpah.
Padahal semuanya masih asumsi, prediksi.
Ya ini, asumsi dan prediksi ini biasanya yang mendominasi pada diri seorang yang agresif.
Menampilkan Aksesoris Mewah
Fenomena lain yang terjadi, ingin terlihat sukses, ingin dianggap berhasil.
Rasa “ingin dianggap” nya itu secara perlahan mengubah gaya hidup.
Memasang barang ber-merk ke tubuh kita, itu mudah. Melepasnya yang susah.
Beli barang-barang mewah ini sah dan boleh, tapi nanti kalau usaha yang kita jalankan sudah punya anak atau bahkan sudah punya cucu.
Maksudnya kalau usaha pertama kita udah punya profit yang melimpah dan bisa melahirkan usaha kedua (yang juga jadi) sampai akhirnya melahirkan usaha ketiga dan seterusnya. Nah ini artinya usahanya udah punya cucu.
Kalau usaha masih baru bertumbuh, sabar dan tetap jaga jarak terhadap barang branded.